Terorisme adalah kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Saya sebagai masyarakat umum jadi khawatir saat beraktifitas di luar ketika banyak kejadian teror yang di lakukan para teroris, pada beberapa kasus bom yang terjadi di Jakarta, baik di tempat umum atau pun tempat ibadah.
Saya ada sekelumit cerita saat pertama
kalinya di ajak keluar negeri dari acara kantor. Saya sempat dilema, padahal
hanya ke negara tetangga. Pada saat itu hanya saya saja yang berhijab, salah satu
pimpinan tempat saya bekerja sempat bilang:
“Ri, kamu lepas saja jilbabnya nanti
pas sudah sampai sana pakai lagi!”
“Nanti kamu saat dipersulit
pemeriksaan, kamu sendirian masuk di ruang khusus.”
“Duh! Jadi ikut gak ya saya.” Tentu saja saya lebih mempertahankan hijab saya. Qodarullah Allah mempermudah urusan saya😊. Saat itu lagi ramai belum lama terjadi tragedi 9/11 di Amerika Serikat yang terjadi pada tanggal 11 September 2001. Tragedi ini merupakan serangkaian serangan terorisme yang dilakukan oleh kelompok militan al-Qaeda.
Segitu dasyatnya imbas terorisme
sehingga menjadi momok tersendiri buat masyarakat umum. Korbannya pun
kebanyakan masyarakat yang tidak tahu apa-apa, hingga menghadirkan
kesalahpahaman.
Peluncuran Buku Anak Negeri di
Pusaran Konflik Suriah dan Pemutaran Film Dokumenter Road to Resilience
Alhamdulillah pada Kamis lalu
(27/2/2025) saya berkesempatan hadir di acara dari Kreasi Prasasti Perdamaian yakni
Peluncuran Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah dan Pemutaran Film
Dokumenter Road to Resilience yang diadakan di - Ruang Auditorium Lt. 2 gedung Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia – Jakarta.
Acara ini bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran komunitas serta memperkuat kolaborasi pemangku
kepentingan dalam kerangka 5R (Repatriasi, Rehabilitasi, Relokasi, Reintegrasi,
dan Resiliensi/Ketahanan).
Turut hadir para narasumber yang
berkompeten antara lain Dr. Noor Huda Ismail selaku Direktur KPP dan penulis
buku "Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah, Lies Marcoes, MA. (Pakar
Gender, Konsultan, dan Peneliti), Dr. Leebarty Taskarina, S.Soc., M.Krim. (Kepala
Seksi Analisis, BNPT RI), Febri Ramdani, S.S. (Credible Voice di Film
"Road to Resilience" dan Penulis Buku "300 Hari di Bumi
Syam"), Ridho Dwi Ristiyanto (Sutradara Film "Road to
Resilience") dan Komjen Pol. Eddy Hartono.,
S.I.K.,M.H. (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme BNPT RI). Dipandu
oleh Moderator Sarie Febriane dan juga dihibur dengan penampilan dari Gading
Suryadmaja yang menyanyikan soundtrack dari film Road to Resilience dan The
Thuts.
Komjen Pol. Eddy Hartono., S.I.K.,M.H. (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme BNPT RI) |
“Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah berisi
narasi-narasi alternatif yang mampu mengedukasi masyarakat sehingga dapat
memahami bahaya paham radikalisme” – ujar Komjen. Pol. Eddy Hartono, S.I.K.,
M.H., Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah ini sebagai narasi alternatif sehingga diharapkan ini menjadi sarana edukasi masyarakat baik anak di bawah umur maupun dewasa, jadi bisa memahami bahaya paham radikal terorisme. Di dalam buku juga banyak terkandung banyak pesan perdamaian yang dapat meningkatkan daya literasi masyarakat.
Komjen Pol. Eddy Hartono juga
mengatakan, karya ini menjadi bagian dari pelaksanaan Rencana Aksi Nasional
Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada
Terorisme (RAN PE). "Khususnya dalam pengembangan Komunikasi Strategis
Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (Komstra
PE) yang lebih efektif dan terukur.
Sesi Diskusi Peluncuran Buku
Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah dan Pemutaran Film Dokumenter Road to
Resilience
![]() |
Sesi Diskusi Peluncuran Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah dan Pemutaran Film Dokumenter Road to Resilience |
Buku Anak Negeri di Pusaran
Konflik Suriah ini merupakan refleksi pengalaman pribadi dari sang penulis yang
juga merupakan Pimpinan komunitas Ruangobrol.id yakni Dr. Noor Huda Ismail,
bagaiman proses pemulangan 18 WNI dari Suriah pada tahun 2017. Dengan mengedepankan
sisi kemanusian dan harapan.
Kehadiran buku dan film tersebut
menjadi alat komunikasi strategis dalam pencegahan dan penanggulangan
ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
![]() |
Dr. Noor Huda Ismail |
Dr. Noor Huda Ismail juga
mengatakan saat ini ratusan WNI masih bertahan di kamp-kamp pengungsian di
Suriah. Mereka kemungkinan kembali ke tanah air melalui repatriasi pemerintah
atau upaya mandiri. Namun kepulangan tanpa pengawasan berisiko meningkatkan
ancaman keamanan di dalam negeri. Selain itu stigma yang melekat pada WNI
terafiliasi konflik Suriah juga menjadi tantangan dalam proses reintegrasi
sosial.
Tantangan terbesar dalam repatriasi
adalah membangun pemahaman bersama antara berbagai pihak terkait, mulai dari
pemerintah hingga komunitas lokal. Setiap individu yang kembali dari Suriah atau
Irak memiliki latar belakang berbeda, sehingga pendekatan yang fleksibel sangat
dibutuhkan.
Film Dokumenter Road to
Resilience
Film dokumenter ini mengisahkan
tentang perjalanan panjang seorang Febri, remaja Indonesia berusia 22 tahun yang
terjebak dalam propaganda ISIS yang menawarkan janji-janji manis. Propaganda persuasif
untuk menarik sukarelawan dari berbagai negara untuk bergabung ke zona konflik
di suriah dan Irak.
Film ini dimulai dengan
pengenalan masalah yang lebih luas, mengangkat isu perang saudara di Suriah dan
kebangkitan ISIS yang menarik ribuan orang dari seluruh dunia, termasuk
Indonesia.
Febri Ramdani, S.S. (Credible Voice di Film Road to Resilience) |
Berawal pada tahun 2016 karena
merasa hanya seorang diri di Indonesia, Febri bertekad menyusul ibunya ke
Suriah dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik. Namun sesampainya
disana Febri justru terjebak dalam kekuasaan brutal ISIS.
Setelah berbulan-bulan berusaha
mencari cara untuk melarikan diri dari wilayah kekuasaan ISIS, akhirnya pada Agustus
2017 Febri dan 16 anggota keluarganya berhasil direpatriasi pemerintah
Indonesia.
Saat kembali ke Indonesia dan
telah melewati proses rehabilitasi, Febri dan keluarga dihadapkan pada
persoalan baru dalam proses reintegrasinya, mulai dari stigma dari masyarakat
yang menganggap mereka sebagai pengkhianat, ekonomi, pencarian jati diri hingga
pergolakan batin yang membuat Febri depresi.
Selama satu bulan, Febri dan
keluarga menjalani berbagai pelatihan dan interogasi dari BNPT dan DENSUS 88.
Dengan tekad yang kuat, Febri dan
keluarga memulai hidup baru di Depok, menata hidupnya kembali dari nol. Mulai dari
membantu ibunya mencari nafkah, melanjutkan pendidikannya lagi yang sempat
tertunda hingga menuliskan perjalanan hidupnya dalam sebuah buku sebagai bentuk
menyalurkan pergolakan batinnya.
Hingga pada akhirnya Febri mengalami
momen penuh haru dan kebahagian saat berhasil menyelesaikan pendidikannya yang
sekaligus bisa memperbaiki hubungannya dengan keluarga besar terutama ayahnya
yang sejak kelas 6 SD belum pernah ia temui. Kebahagian Febri menjadi lengkap
saat kedua orang tuanya turut hadir saat wisuda.
Film ini menunjukkan bagaimana
keputusan kecil Febri di masa lalu mampu membawa perubahan besar dalam hidupnya
di kesempatan keduanya.
Film ini juga menggambarkan upaya
lebih besar untuk pemulihan dan re-integrasi eks-ISIS ke dalam masyarakat.
Buku
Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah
Buku ini banyak mengangkat kisah
para WNI yang hijrah ke Suriah dengan berbagai latar belakang. Dengan tokoh
utamanya Ramdan dan anaknya Raffa yang berusia 5 tahun.
Ramdan merupakan seorang pedagang
pakaian di pasar Tanah Abang. Awal keterlibatannya terseret dalam pusaran peristiwa
konflik di Suriah karena faktor kebutuhan modal usaha saat usahanya bangkrut. Maksud
hati ingin minta bantuan keuangan kepada Bahri kakak sepupunya, tapi Ramdan
malah kerap diajak seruan jihad dan mendapatkan pengaruh paham radikal melalui
berbagai pesan dan narasi radikal.
Simbolik penyerahan buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah dari sang penulis Dr. Noor Huda Ismail kepada Komjen Pol.Eddy Hartono., S.I.K.,M.H. (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme BNPT RI)
Ada juga Wildan Fauzie Bahriza berasal
dari keluarga kaya dan terdidik, seorang mahasiswa Jurusan Informatika di salah
satu universitas di Malang, yang terpapar paham radikal karena kerap menyimak
pengajian dari Salim Mubarok at-Tamimi alias Abu Jandal, aktivis Salafi.
Argumen-argumen tentang tauhid dan jihad yang disampaikan Salim yang baru
pulang dari Yaman begitu memukau Wildan.
Warga Negara Indonesia (WNI) yang
terafiliasi konflik Suriah, terutama perempuan dan anak, menjadi alasan
dirilisnya buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah.
Penanganan WNI terutama perempuan
dan anak-anak di kamp Suriah, tidak hanya penting untuk keamanan tapi juga
menjadi isu kemanusiaan yang krusial, sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila, hokum
internasional dan kewajiban konstitusional Indonesia.
Pada buku Anak Negeri di Pusaran
Konflik Suriah juga diungkapkan, bagaimana kondisi pada kamp yang jauh dari
kata layak. Air yang suka macet sehingga menyebabkan mereka jarang mandi. Tempat
penampungan yang sempit, kamar asrama yang idealnya dihuni 10 orang tapi dihuni
27 orang dari berbagai negara. Bahkan stok makanan sering habis sebelum ada
pengiriman selanjutnya.
Buku Anak Negeri di Pusaran
Konflik Suriah ini mengkaji fenomena keterlibatan WNI dalam konflik Suriah
melalui pendekatan naratif dan analitis yang mendalam. Buku ini menggunakan
kerangka 3N (Needs, Networks dan Narratives) dan Identity Fusion untuk memahami
proses radikalisasi dan motivasi WNI bergabung dengan kelompok seperti ISIS
(Islamic State of Iraq and Syiria) dan JI (Jamaah Islamiyah).
Pengalaman sang penulis Dr. Noor
Huda Ismail, yang banyak bekerja dalam pengembangan narasi alternative terhadap
berbagai narasi kelompok ektremisme kekerasan, memberikan perspektif yang
sangat berharga mengenai kompleksitas masalah yang dihadapi.
Buku ini tidak hanya menawarkan
narasi kemanusiaan yang mendalam, tetapi juga menyelami kompleksitas konflik
dengan penuh empati, sekaligus menawarkan harapan bagi terciptanya masa depan
yang lebih baik.
![]() |
Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah |
Buku Anak Negeri di Pusaran
Konflik Suriah, yang dicetak setebal 424 halaman ini sangat mengedukasi buat saya. Membaca buku ini menambah wawasan saya tentang apa yang terjadi, khususnya mengenai bagaimana para WNI yang terpapar paham radikal.
Maraknya paham radikal di tengah masyarakat, perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua kalangan, mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tentu saja lingkungan terkecil kita yaitu keluarga.
Lingkungan keluarga memegang peranan yang sangat penting untuk dapat mencegah tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit radikalisme.
Sebagai orang tua kita harus menjadi benteng
utama yang melindungi anak-anak kita dari bahaya gerakan radikalisme. Berbagai
aktivitas anak harus berada dalam pengawasan, agar kita sebagai orang tua dapat
memantau apabila anak mulai melakukan hal-hal yang tidak wajar.
Bonding yang kuat pada anak, jadikan anak sebagai sahabat sehingga mereka nyaman bercerita, dan kepekaan kita sebagai orang tua terhadap aktivitas anak menjadi
kunci utama.
No comments:
Post a Comment
Mohon jangan berkomentar SPAM, terimakasih.